Ber0(n)tak

lempar
Secara akal-sehat dan nalar waras, sesungguhnya tidak ada alasan buat kita untuk terus diam dan tetap memaklumi. Sebab fakta kepalsuan dan pembohongan sudah sedemikian nyata dan terjadi berulang-ulang hingga detik ini.

Jika kalian BEROTAK, sudah pasti BERONTAK !

Beda Penulis dengan Politisi

api

Eugene Ionesco, dramawan Prancis kelahiran Rumania mengungkapkan bahwa ia pernah disodorkan sebuah pertanyaan, mengapa orang selalu mengharapkan penulis menjawab pertanyaan?

Lantas dia menjawab; “Karena saya adalah seorang penulis,makanya saya selalu ingin mengajukan pertanyaan. Jika saya punya semua jawaban, berarti saya adalah seorang politisi”.

Logika (Mempertahankan) Kekuasaan

kom
Ilustrasi logika kekuasaan. (sumber:kompas)

 “Kekuasaan sesungguhnya tidak korup, justru yang korup adalah ketakutan, yakni ketakutan akan kehilangan kekuasaan. (John Ernst Steinbeck)

 

Tidak dapat dipungkiri, logika kekuasaan itu  pada dasarnya adalah tentang kecenderungan  mempertahankan kekuasaannya dengan pelbagai upaya, bahkan dengan menghalalkan segala cara.

Kecenderungan logika ini sudah berlaku galib dan telah menjadi dalil pokok setiap orde yang berkuasa, di manapun dan kapanpun. Kendati pada awalnya banyak para calon penguasa yang tampil rendah hati dengan mengatakan mengatakan; “berilah saya kesempatan menjadi penguasa satu periode saja, saya bertekat  akan menciptakan  perubahan dan mempersembahkan kesejahteraan, setelah itu silakan yang lain  meneruskannya, dan bagi saya itu lebih dari cukup.”

Lantas, apa yang terjadi sesudah itu ? Jauh sebelum habis masa jabatannya, ia sudah mulai merasakan bagamana nikmat dan candu dari pesona kekuasaan itu, lalu   ia  pun berfikir untuk memperpanjang jabatannya. Bahkan, jika ada peluang,  ia pun melirik  jenjang jabatan yang lebih tinggi dan prestisius.

Terkait hal ini,  Emil Salim (2000) mengatakan,  bahwa kecenderungan penguasa itu memang selalu mengkooptasi, ”Jika kita telah duduk dalam kekuasaan, kita cendrung ingin melanjutkan kekuasaan. Tidak ada orang boleh duduk di kursinya, menyerahkan kursinya kepada orang lain, yang saya tahu hanya Julius Nyerere, presiden Tanzania, satu-satunya presiden yang sukarela menyerahkan kekuasaan, dengan jujur dan ikhlas mengatakan; saya tidak sanggup maka saya menyatakan mengundurkan diri”. Yang lain kalau parlemen dan people power belum menyatakan mosi tak percaya, ya terus saja bertahan. Dan kebanyakan sejarah presiden digulingkan, dipaksa, atau karena kalah suara dalam pemilihan umum.

 

Machiavelli

Secara filosofis, logika kekuasaan seperti ini bukannya tanpa alasan. Adalah Nicollo Machiavelli, seorang filusuf Italia, pernah menyoroti logika kekuasaan dengan memperkenalkan konsep raison d’ etat. Konsep ini secara eksplisit  mengandung doktrin, bahwa sasaran utama politik negara adalah mempertahankan kekuasaan negara, sedangkan moral dan hukum harus tunduk di bawah tuntutan politik.

Selama ini, banyak kalangan—termasuk para pelaku kekuasaan—yang menganggap ajaran Machiavelli ini keliru dan sesat, karena telah menjustifikasi penggunaan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan mengabaikan intervensi moral di dalamnya. Namun sepertinya sulit dibantah, gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX. Banyak penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai “buku pegangan”  (hand book). Salahsatu magnum opus Machiavelli  adalah “The Prince”  (Sang Pangeran).

The Prince merupakan kitab nasihat praktek terpenting bagi seorang pelaku kekuasaan. Doktrin utama buku ini adalah, untuk meraih kesuksesan dan dun supaya bisa langgeng,  seorang penguasa sepenuhnya harus mengabaikan pertimbangan moral dan menhalalkan segala cara dengan mengutamakan kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Menurutnya, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Dalam bab 17 buku The Prince , Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai.Tulis Machiavelli: “Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi,  lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi, takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset “.

 

Logika Kekuasaan Negatif

Begitulah tabiat umum dari logika kekuasaan. Dalam perjalanan sejarah, kekuasaan dengan berbagai bentuk tersebut sering disalahgunakan dengan menggunakan berbagai pola oleh orang-orang yang memilikinya untuk keuntungan pemegang kekuasaan. Pada jaman sekarang, biar penyalahgunaan kekuasaan tersebut seakan-akan dibenarkan oleh hukum, biasanya para pemimpin negara melakukan pelbagai bentuk rekayasa dengan modus rasionalisasi seperti untuk pembangunan, demi kepentingan umum, serta guna memajukan kesejahteraan rakyat. Pada hal yang ada dibenaknya cuma satu, bagaimana mengamankan status-quo kekuasaannya

Sejarah bangsa kita juga tak terlepas dari logika ini, bahkan jauh lebih parah. Orde Baru, misalnya, sudah membuktikan bahwa kekuasaan harus dipangku erat-erat, tidak hanya untuk kepentingan politik semata, tetapi juga untuk kepentingan ekonomi. Parahnya, semua itu ditujukan untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya, tidak untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang menjadi kewajiban kekuasaan negara.

Bahkan sampai di era reformasi, kecenderungan itu masih berlaku. Hal ini terlihat dari diabaikannya hak-hak dasar rakyat dan pemerintah hanya terjebak pada pertarungan politik oligarkis. Rakyat hanya dijadikan sebagai objek kekuasaan dan dimanipulasikan sedemikian rupa sampai ikut dalam politik guna mempertahankan kekuasaan.

Ketika sudah menang dan kekuasaan sudah dalam pangkuan, sebenarnya hasrat kekuasaan tidak sertamerta terpuaskan. Justru syahwat kekuasaan semakin menjadi-jadi. Ambisi tahap berikutnya setelah meraih kekuasaan adalah bagaimana “mengolah” kekuasaan secara maksimal untuk meraup keuntungan sembari bagaimana mengupayakan mengukuhkan kekuasaan agar tidak diusik dan diganggu pihal lain.

Secara prgmatisme, logika seperti ini sering dianggap realistis bahkan lazim. Misalnya, karena semasa kampanye mengeluarkan dana yang sangat besar, maka tahap berikutnya adalah berpikir kembali modal. Oleh karena itu selalu berusaha sedemikian untuk mendapatkan proyek-proyek besar bernilai milyaran hingga triliunan rupiah. Dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan milik para anggota parpolnya dengan syarat sebagian harus disetorkan ke kas partai. Tentu, jumlahnya cukup besar. Dan untuk memenangkan tender, ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari yang jujur hingga yang sangat tidak jujur. Logikanya sederhana; “mumpung lagi berkuasa”.

Kemudian, setelah dirasa kembali modal, maka target selanjutnya adalah bagaimana memperkaya diri sendiri. Maka, dengan berbagai cara dan usaha, dimulailah upaya-upaya untuk memperkaya  diri sendiri dengan cara menggerogoti uang negara dengan berbagai cara, mulai dari memanifulasi data, melakukan penggelembungan angka atau mark up, hingga jelas-jelas melakukan korupsi secara terang-terangan maupun yang secara sembunyi-sembunyi. Baik korupsi pribadi maupun korupsi berjamaah. Modus korupsinya pun bermacam-macam. Namun yang pasti, di mana ada proyek, di situ kemungkinan besar ada korupsi.

 

Logika Kekuasaan Positif

Meskipun kecenderungan logika kekuasaan  banyak yang negatif , bukan berarti tidak ada logika kekuasaan positif yang ideal untuk dikembangkan dan ditradisikan.  Paul Padley (1998) mengatakan bahwa  “mengatakan kekuasaan ibarat sebuah roda yang sedang berputar menurut putaran jarum jam, yakni dari bawah ke atas, dan seterusnya dari atas turun ke bawah.

Secara implisit Padley ingin berpesan, sebelum kekuasaan berada di atas,  maka seyogianya perkokohlah kekuasaan di bawah dengan cara menjadilah pengikut yang baik, sebab penguasa yang baik berasal dari pengikut yang baik pula. Setelah berada di atas siap-siaplah kekuasan tersebut akan turun ke bawah, cara turunnya ternyata berbeda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat, ada yang dipaksakan oleh orang lain karena dikhawatirkan membawa akibat yang merugikan orang lain dan institusinya, dan adapun yang dimintakannya sendiri dan adapula yang alamiah.

Sesungguhnya bagi mereka yang senang berkuasa dapat mempertahan kekuasaannya untuk lebih lama atau memperlambat putaran turunnya kekuasaan tersebut dengan cara memperluas atau memperpanjang diameter lingkaran kekuasaannya tentu dengan cara yang dapat dibenarkan, sebagaimana disarankan oleh John Maxwell dalam bukunya “Becoming a Person of Influence” adalah sebagai berikut; selalu berlaku jujur dengan orang lain, memelihara orang lain, yakin kepada orang lain, mendengarkan orang lain, memahami orang lain, mengembangkan orang lain, menjadi navigator bagi orang lain, berhubungan baik dengan orang lain, melengkapi kekurangan orang lain, dan mereproduksi orang berpengaruh yang lainnya.

Anthony Robbins (1996) dalam bukunya “Unlimited Power” mengatakan kekuasaan yang mengubah secara ajaib kehidupan kita menjadi impian terhebat berada dalam diri kita sendiri. Kekuasaan bukanlah untuk mengalahkan dan bukan pula untuk membuat orang segan, karena kekuasaan seperti itu jarang bertahan lama.

 

Penutup

Kiranya politik negara memang harus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi hal ini tidak mungkin tanpa sarana untuk mengikutsertakan rakyat dalam tujuan pembangunan itu. Oleh karena itu, dalam urusan politik negara idealisme dan realisme harus berdampingan satu sama lain.

Sepertinya harus dipahamai, bagaimanapun kekuasaan itu memiliki kecenderunganuntuk menjurus kepada praktik negatif dan destruktif, sebagaimana nampak dalam adagium populer yang dilontarkan oleh Lord Acton bahwa; “kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran”.

Berangkat dari kecenderungan itu, maka semestinya  mendorong pemikiran untuk menciptakan bangunan peradaban baru yang lebih demokratis, relijius, berlandaskan kepastian hukum dan moralitas.(*)

Pemimpin, Harapan dan Kekecewaan

solo
Ilustrasi pemimpin. (sumber:solopos)

Harapanku kecewa//Dalam manis madu kata-kata//Dengan pujukan yang hanya dusta//Aku terpedaya

Nukilan lirik lagu sendu  karya Ahmad Jais di atas adalah ungkapan seorang insan yang kecewa karena telah didustai oleh kekasihnya. Namun,  sepertinya  penggalan syair lagu itu cocok juga sebagai  ungkapan rasa kekecewaan sebagian besar rakyat  negeri  ini yang selalu jadi mangsa dusta dari kebanyakan para pemimpin dan penguasanya.

Usai penyelenggaraan pesta demokrasi Pilkada serentak beberapa bulan yang lalu, kini ratusan daerah di negeri ini, baik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, telah memiliki pemipin baru. Di antara pemimpin baru tersebut masih beredar sejumlah wajah lama, dan sebagian lagi dihiasi muka baru (new comer).

Terkait hal itu, satu pertanyaan yang menarik diajukan adalah, apakah keberadaan pemimpin-pemimpin baru tersebut akan membawa implikasi positif bagi  perubahan dan perbaikan  daerahnya  masing-masing dan untuk republik ini ?

 

Pesimis

Secara empiris, sepertinya sulit bagi kita merasa optimis. Sebab, adalah fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa  kecenderungan tradisi   kepemimpinan di negeri ini hampir selalu berwajah konstan; dimana di awal selalu menyuguhkan manis “harapan”, namun di belakangan melulu mempersembahkan pahit “kekecewaan”.

Kecenderungan seperti itu telah sudah galib terjadi, dimana harapan  selalu bertolakbelakang dengan kenyataan. Sebelum berkuasa, di mana-mana calon pemimpin selalu menjanjikan perubahan. Namun saat sudah berkuasa, perubahan yang dijanjikannya tak kunjung jadi kenyataan.

Potret budaya suksesi kepemimpinan di republik ini sepertinya persis sekali dengan apa yang pernah diungkapkan pujangga dunia Kahlil Gibran dalam puisinya; kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya//dengan trompet kehormatan namun//melepasnya dengan cacian// hanya untuk menyambut penguasa baru lain// dengan trompet lagi.

Ya, segala hal indah yang pernah dijanjikan para pemimpin itu hanya terhenti sebagai das solen, jarang terwujud jadi das sein. Para politisi dan pemimpin di republik ini cuma mampu mempraktikkan “politik kekecewaan”. Mereka gagal mempersembahkan kemaslahatan yang mereka janjikan terhadap rakyat.

Dan adapun penyebab timbulnya kekecewaan itu tak lain karena kebanyakan di awal sebelum berkuasa para pemimpin kita terlalu ultra produktif mengumbar janji dan harapan kepada rakyat. Namun ketika sudah berkuasa, mereka cenderung lupa dengan apa yang telah janjikan.

 

Janji Tinggal Janji

Lantas, kemana janji-janji manis para pemimpin itu ? Dalam sebuah puisinya, penyair negeri jiran Malaysia T. Alias Taib melukiskan bagaimana ujung dari janji politik itu; segala ikrar dan janji yang dituangnya//ada yang cair bersama air//menjadi lumpur//ada yang reput bersama rumput//menjadi lumut//ada yang dimakan anai-anai//menjadi habuk.

Bila kita cermati, setidaknya karena dua faktor yang menyebabkan seorang pemimpin ingkar terhadap janji-janjinya. Pertama, pemimpin itu memang  tidak memiliki kapabalitas untuk memenuhi janji-janjinya kepada rakyat. Dari awal, publik memang sudah meragukan kemampuannya, bahkan ia sendiri sebenarnya menyadari kelemahan itu, namun karena tuntutan keadaaan ia merasa perlu untuk menciptakan kesan (impresi) bahwa dia memang layak dipilih jadi pemimpin. Maka salah satu mudus klasik yang mesti ia lakukan adalah dengan mengucapkan janji  untuk menarik pendukung dan memperoleh suara sebanyak-banyaknya.

Penulis Patrick Lencioni pernah membeberkan  bagaimana modus politisi itu berjanji. Menurutnya, politisi cenderung memilih kata-kata dan tindakannya berdasarkan bagaimana dia ingin orang lain bereaksi dan bukan berdasarkan apa yang benar-benar mereka pikirkan.

Hal senada juga pernah diungkap oleh penulis lain, Jarod Kintz. Dia mengatakan, politik adalah semua yang berkenaan tentang upaya politisi untuk menunjukkan bahwah dia memiliki integritas dan menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya dia benar- benar tidak punya.

Bahkan, dalam bentuk yang lebih eksesif, Nikita Khrushchev pernah menuding politisi dimanapun sama saja, sama-sama bombastis. Mereka berani berjanji membangun jembatan meski tak ada sungai di tempat itu.

Kedua, pemimpin itu sebenarnya memiliki kapabalitas dan potensi untuk menunaikan janji- janjinya. Namun, disebabkan karena terlena oleh hedonitas kekuasaan yang telah diraihnya, maka itu membuat ia  lupa akan amanah dan tanggungjawab yang dipikulnya. Akibatnya ia pun jadi lalai, tidak maksimal  mewujudkan program-program pemenuhan janji-janjinya. Bahkan karena telah dikuasai oleh syahwat kekuasaan yang koruptif, justeru orientasi kepemimpinannya ia curahkan hanya untuk melayani dan memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja.

 

Janji adalah Utang

Dalam konsepsi ajaran Islam, janji  itu adalah utang yang wajib untuk dibayar, tidak terkecuali janji politik. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam al-Qur’an; “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjwabannya.” (QS. Al-Isra’: 34).

Jika janji diasosiasikan sebagai utang, maka tidak bisa dibayangkan barapa besarnya utang yang melilit para politisi yang telah jadi pemimpin kepada rakyat yang memilihnya. Dalam konteks ini, rakyat yang memilih pemimpin itu berperan sebagai kreditur, sedangkan pemimpin yang terpilih statusnya tak lain sebagai debitur yang memiliki kewajiban untuk membayar dan melunasi semua utangnya.

Tak bisa kita bayangkan dan sepertinya sulit untuk dihitung betapa besarnya jumlah utang yang dimiliki para pemimpin di republik ini. Yang jelas, hamburan janji yang ditebar calon pemimpin saat kampanye merupakan akumulasi utang  yang layak dicatat dan wajib dibayarnya di kemudian hari ketika dia sudah berkuasa.

Harus dipahami juga, jika seseorang sudah terpilih jadi pemimpin, maka sesungguhnya dia bukan cuma berutang pada pendukung atau konstituennya, namun secara etis dia juga berutang kepada seluruh rakyat di terotorial kekuasaannya. Semua janji muluk tentang kebaikan dan kesejahteraan yang ucapkannya, tentunya harus ia tunaikan secara adil dan proporsional.

Jangan seperti yang sering terjadi selama ini, seorang pemimpin lebih mengutamakan kebijakan “balas budi” (reward) kepada pendukungnya dan sebaliknya melancarkan kebijakan “balas dendam” (punishment) terhadap kelompok seteru politiknya.

 

Penutup

Mampu mempersembahkan kemaslahatan bagi rakyatnya adalah ciri dari  kekuasaan atau kepemimpinan yang bermartabat. Pemimpin yang sejati juga berusaha sedapat mungkin untuk tidak mengecewakan rakyatnya dengan cara tidak ingkar janji.

Sudah saatnya para pemimpin di negeri ini menginsafi  bahwa seseorang menjadi mulia saat menepati satu janji, bukan saat mengucapkan seribu janji. Para pemimpin harus menyadari bahwa janji adalah hutang dan tabungan kepercayaan legitimasi yang mereka dapatkan adalah jaminannya.

Untuk itu, alangkah bijaknya jika para politisi dan calon pemimpin di negeri ini tidak lagi boros dalam berjanji. Dan sekalipun dirasa perlu untuk berjanji, makan berjanjilah seadanya, agar kelak tidak sulit untuk ditunaikan.

Ingatlah, sesungguhnya para pemimpin tidak perlu melakukan sesuatu yang muluk dan spektakuler biar dikatakan sukses dalam kepemimpinannya. Cukuplah penuhi janji-janji Anda, karena itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa sebenarnya kepemimpinan Anda sudah berprestasi. (*)