Pemimpin, Harapan dan Kekecewaan

solo
Ilustrasi pemimpin. (sumber:solopos)

Harapanku kecewa//Dalam manis madu kata-kata//Dengan pujukan yang hanya dusta//Aku terpedaya

Nukilan lirik lagu sendu  karya Ahmad Jais di atas adalah ungkapan seorang insan yang kecewa karena telah didustai oleh kekasihnya. Namun,  sepertinya  penggalan syair lagu itu cocok juga sebagai  ungkapan rasa kekecewaan sebagian besar rakyat  negeri  ini yang selalu jadi mangsa dusta dari kebanyakan para pemimpin dan penguasanya.

Usai penyelenggaraan pesta demokrasi Pilkada serentak beberapa bulan yang lalu, kini ratusan daerah di negeri ini, baik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, telah memiliki pemipin baru. Di antara pemimpin baru tersebut masih beredar sejumlah wajah lama, dan sebagian lagi dihiasi muka baru (new comer).

Terkait hal itu, satu pertanyaan yang menarik diajukan adalah, apakah keberadaan pemimpin-pemimpin baru tersebut akan membawa implikasi positif bagi  perubahan dan perbaikan  daerahnya  masing-masing dan untuk republik ini ?

 

Pesimis

Secara empiris, sepertinya sulit bagi kita merasa optimis. Sebab, adalah fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa  kecenderungan tradisi   kepemimpinan di negeri ini hampir selalu berwajah konstan; dimana di awal selalu menyuguhkan manis “harapan”, namun di belakangan melulu mempersembahkan pahit “kekecewaan”.

Kecenderungan seperti itu telah sudah galib terjadi, dimana harapan  selalu bertolakbelakang dengan kenyataan. Sebelum berkuasa, di mana-mana calon pemimpin selalu menjanjikan perubahan. Namun saat sudah berkuasa, perubahan yang dijanjikannya tak kunjung jadi kenyataan.

Potret budaya suksesi kepemimpinan di republik ini sepertinya persis sekali dengan apa yang pernah diungkapkan pujangga dunia Kahlil Gibran dalam puisinya; kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya//dengan trompet kehormatan namun//melepasnya dengan cacian// hanya untuk menyambut penguasa baru lain// dengan trompet lagi.

Ya, segala hal indah yang pernah dijanjikan para pemimpin itu hanya terhenti sebagai das solen, jarang terwujud jadi das sein. Para politisi dan pemimpin di republik ini cuma mampu mempraktikkan “politik kekecewaan”. Mereka gagal mempersembahkan kemaslahatan yang mereka janjikan terhadap rakyat.

Dan adapun penyebab timbulnya kekecewaan itu tak lain karena kebanyakan di awal sebelum berkuasa para pemimpin kita terlalu ultra produktif mengumbar janji dan harapan kepada rakyat. Namun ketika sudah berkuasa, mereka cenderung lupa dengan apa yang telah janjikan.

 

Janji Tinggal Janji

Lantas, kemana janji-janji manis para pemimpin itu ? Dalam sebuah puisinya, penyair negeri jiran Malaysia T. Alias Taib melukiskan bagaimana ujung dari janji politik itu; segala ikrar dan janji yang dituangnya//ada yang cair bersama air//menjadi lumpur//ada yang reput bersama rumput//menjadi lumut//ada yang dimakan anai-anai//menjadi habuk.

Bila kita cermati, setidaknya karena dua faktor yang menyebabkan seorang pemimpin ingkar terhadap janji-janjinya. Pertama, pemimpin itu memang  tidak memiliki kapabalitas untuk memenuhi janji-janjinya kepada rakyat. Dari awal, publik memang sudah meragukan kemampuannya, bahkan ia sendiri sebenarnya menyadari kelemahan itu, namun karena tuntutan keadaaan ia merasa perlu untuk menciptakan kesan (impresi) bahwa dia memang layak dipilih jadi pemimpin. Maka salah satu mudus klasik yang mesti ia lakukan adalah dengan mengucapkan janji  untuk menarik pendukung dan memperoleh suara sebanyak-banyaknya.

Penulis Patrick Lencioni pernah membeberkan  bagaimana modus politisi itu berjanji. Menurutnya, politisi cenderung memilih kata-kata dan tindakannya berdasarkan bagaimana dia ingin orang lain bereaksi dan bukan berdasarkan apa yang benar-benar mereka pikirkan.

Hal senada juga pernah diungkap oleh penulis lain, Jarod Kintz. Dia mengatakan, politik adalah semua yang berkenaan tentang upaya politisi untuk menunjukkan bahwah dia memiliki integritas dan menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya dia benar- benar tidak punya.

Bahkan, dalam bentuk yang lebih eksesif, Nikita Khrushchev pernah menuding politisi dimanapun sama saja, sama-sama bombastis. Mereka berani berjanji membangun jembatan meski tak ada sungai di tempat itu.

Kedua, pemimpin itu sebenarnya memiliki kapabalitas dan potensi untuk menunaikan janji- janjinya. Namun, disebabkan karena terlena oleh hedonitas kekuasaan yang telah diraihnya, maka itu membuat ia  lupa akan amanah dan tanggungjawab yang dipikulnya. Akibatnya ia pun jadi lalai, tidak maksimal  mewujudkan program-program pemenuhan janji-janjinya. Bahkan karena telah dikuasai oleh syahwat kekuasaan yang koruptif, justeru orientasi kepemimpinannya ia curahkan hanya untuk melayani dan memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja.

 

Janji adalah Utang

Dalam konsepsi ajaran Islam, janji  itu adalah utang yang wajib untuk dibayar, tidak terkecuali janji politik. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam al-Qur’an; “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjwabannya.” (QS. Al-Isra’: 34).

Jika janji diasosiasikan sebagai utang, maka tidak bisa dibayangkan barapa besarnya utang yang melilit para politisi yang telah jadi pemimpin kepada rakyat yang memilihnya. Dalam konteks ini, rakyat yang memilih pemimpin itu berperan sebagai kreditur, sedangkan pemimpin yang terpilih statusnya tak lain sebagai debitur yang memiliki kewajiban untuk membayar dan melunasi semua utangnya.

Tak bisa kita bayangkan dan sepertinya sulit untuk dihitung betapa besarnya jumlah utang yang dimiliki para pemimpin di republik ini. Yang jelas, hamburan janji yang ditebar calon pemimpin saat kampanye merupakan akumulasi utang  yang layak dicatat dan wajib dibayarnya di kemudian hari ketika dia sudah berkuasa.

Harus dipahami juga, jika seseorang sudah terpilih jadi pemimpin, maka sesungguhnya dia bukan cuma berutang pada pendukung atau konstituennya, namun secara etis dia juga berutang kepada seluruh rakyat di terotorial kekuasaannya. Semua janji muluk tentang kebaikan dan kesejahteraan yang ucapkannya, tentunya harus ia tunaikan secara adil dan proporsional.

Jangan seperti yang sering terjadi selama ini, seorang pemimpin lebih mengutamakan kebijakan “balas budi” (reward) kepada pendukungnya dan sebaliknya melancarkan kebijakan “balas dendam” (punishment) terhadap kelompok seteru politiknya.

 

Penutup

Mampu mempersembahkan kemaslahatan bagi rakyatnya adalah ciri dari  kekuasaan atau kepemimpinan yang bermartabat. Pemimpin yang sejati juga berusaha sedapat mungkin untuk tidak mengecewakan rakyatnya dengan cara tidak ingkar janji.

Sudah saatnya para pemimpin di negeri ini menginsafi  bahwa seseorang menjadi mulia saat menepati satu janji, bukan saat mengucapkan seribu janji. Para pemimpin harus menyadari bahwa janji adalah hutang dan tabungan kepercayaan legitimasi yang mereka dapatkan adalah jaminannya.

Untuk itu, alangkah bijaknya jika para politisi dan calon pemimpin di negeri ini tidak lagi boros dalam berjanji. Dan sekalipun dirasa perlu untuk berjanji, makan berjanjilah seadanya, agar kelak tidak sulit untuk ditunaikan.

Ingatlah, sesungguhnya para pemimpin tidak perlu melakukan sesuatu yang muluk dan spektakuler biar dikatakan sukses dalam kepemimpinannya. Cukuplah penuhi janji-janji Anda, karena itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa sebenarnya kepemimpinan Anda sudah berprestasi. (*)

Tinggalkan komentar